Jumat, 21 Maret 2008

Ayat-Ayat Cinta; Inspirasi Dialog Antar-Agama

Hari-hari ini, masyarakat Indonesia seolah terhipnotis dengan film “Ayat-Ayat Cinta”. Film yang digarap Hanung Bramantyo itu, hingga kini diperkirakan telah ditonton lebih dari 3.5 juta orang. Bioskop-bioskop yang memutar film tersebut hingga sekarang mungkin akan terus dipadati penonton. Sebelum difilmkan, “Ayat-Ayat Cinta” tak lain adalah judul novel karya Habiburrahman El-Shirazi yang dibaca dan diminati banyak penikmat sastra, novel dan pembaca di tanah air. Sejak cetak pertama pada Desember 2004, novel yang pernah menjadi cerita bersambung di salah satu koran harian “Republika” ini sudah laris manis bak kacang goreng. Hingga kini novel itu telah mengalami cetak ulang hingga 30 kali dan terjual lebih dari 300 ribu eksemplar.

Dengan jumlah penonton (film) dan buku yang terjual seperti itu, jelas “Ayat-Ayat Cinta” telah memecahkan rekor. Kita tentu menyambut gembira dengan antusiasme khalayak ramai terhadap film maupun novel tersebut. Apalagi “Ayat-Ayat Cinta” bisa dikatakan 'menyalahi' pakem dalam dunia hiburan kita selama ini. Pakem itu adalah, bahwa yang laku di masyarakat hanyalah jenis-jenis hiburan yang mengeksploitasi seks/pornografi, kekerasan, mistik, marerialisme, dan hal-hal lain yang bersifat hedonisme.

Di tengah buruknya acara-acara hiburan kita itulah kemudian muncul “Ayat-Ayat Cinta” dalam bentuk film dan novel. Hiburan yang mencerahkan, kisah-kisah cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya sebelum cinta kepada sang kekasih hati, kesetiakawanan, berbuat baik kepada sesama, sikap tegas, keimanan, ketakwaan, dan kedamaian, serta teguh dalam pendirian.

Singkat kisah, film itu disambut masyarakat Indonesia dengan penuh antusias. Antusiasme tersebut bisa dinilai sangat wajar mengingat mungkin film ini pertama di Indonesia yang menyinergikan kisah cinta dan religi, dua hal yang kadang sering dianggap tabu untuk dikombinasikan satu sama lain. Lebih dari itu, film ini menggambarkan kemoderatan, kedamaian dan toleransi Islam.

Fahri (Fedi Nuril) seorang mahasiswa di Al Azhar, Kairo dapat hidup berdampingan, dan harmonis dengan tetangganya, Maria (Carissa Puteri) dan keluarganya yang beragama Kristen Koptik. Dalam film ini dikisahkan pula Aisyah (Rianti Cartwright) yang kemudian menjadi istri Fahri menyatakan tidak ingin dipoligami.

Hal ini menunjukkan fakta bahwa poligami dalam Islam adalah hal yang sulit dilakukan dan tidak bisa dengan semena-mena karena nafsu. Sosok Fahri yang berpegang teguh pada prinsip keislaman, tetapi tetap menampilkan sifat ramah, sopan, dan hormat sangatlah penting untuk dicontoh. Hal ini jauh dari asumsi yang dikemukakan Wilders bahwa Islam mengajarkan kekerasan.

Lebih dari itu, film “Ayat-Ayat Cinta” ,bila kita hayati, sebetulnya bisa dikatakan sebagai inspirasi penciptaan perdamaian dan upaya dialog antar agama dan peradaban yang digambarkan kisahnya dialog antara Fahri (Muslim) dan Alicia (gadis Non-Muslim dari Amerika) yang ingin tahu banyak tentang Islam. Hal ini merupakan contoh bagus tentang dialog antarperadaban dan agama yang sehat dan terbuka. Film ini sangat layak untuk menjadi bahan renungan mengenai bagaimana seharusnya umat Islam menghormati umat lain dan menumbuhkembangkan budaya dialog.

Belajar dari “Ayat-Ayat Cinta”, ternyata hiburan tidak harus menonjolkan adegan-adegan yang mengobral syahwat dan mengumbar nafsu hewani. Sisi-sisi yang menjunjung tinggi moralitas asal dikemas apik/professional faktanya tetap diminati masyarakat. Kini tanggungjawab terletak pada kita semua adakah kemauan untuk menjadikan film sebagai inspirasi perdamaian dan sarana penegakan nilai-nilai luhur ajaran agama?

Pertanyaan sederhana tersebut penting direnungkan bersama, mengingat kekerasan demi kekerasan selalu hadir di tengah terpaan krisis multidimensional yang menimpa seluruh bangsa, termasuk Indonesia. Jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling mungkin ditempuh sekarang ini. Jalan konfrontasi hanyalah akan menguntungkan orang-orang yang mempunyai pandangan dualistis mengenai kehidupan ini: “Islam” dan “kafir”, baik dan jahat, dan seterusnya.

Jalan tersebut hanya akan menguntungkan oran-orang dengan pandangan yang konservatif dan ekstrim dalam agama manapun, entah Islam, entah yang lain. Jalan ini juga amat menguntungkan para elit agama manapun yang hendak memanipulasi dan memonopoli umatnya untuk kepentingan yang sempit dan sesaat.

Upaya penciptaan perdamaian dan membuka jalan dialog antar agama dan peradaban sudah semestinya diperhatikan secara serius dan diupayakan terus menerus dengan cara apapun, dimana pun dan sampai kapan pun.***

Dahlan Iskan: Revolusi Manajemen Haji ala Maftuh Basyuni

Ketika banyak pihak mengecam Departemen Agama yang dianggap bertanggung jawab atas musibah kelaparan jamaah haji Indonesia di tanah suci tahun ini, ada satu tulisan di media yang mengungkap gebrakan revolusi Menteri Agama di departemennya. Tulisan yang ditulis oleh Dahlan Iskan, chairman PT Jawa Pos itu bercerita tentang perubahan-perubahan yang berusaha dibuat oleh Maftuh Basyuni, Menteri Agama, untuk membersihkan korupsi, permainan dan fasilitas bagi pejabat. Termasuk sekelumit cerita di balik kasus katering jamaah haji Indonesia.

Catatan: Dahlan Iskan
Saya tidak akrab dengan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Hanya sekali ngobrol ketika sama-sama dalam pesawat kepresidenan ke luar negeri dan ketika minggu lalu hanya sempat bersalaman saat bersama-sama makan soto mi di Istana Merdeka setelah pertemuan dengan presiden dan wakil presiden.

Tapi, saya terkesan dengan "revolusi" yang dia lakukan di departemennya. Segala macam yang berbau korupsi, permainan, dan fasilitas, dia bersihkan. Tentu banyak sekali yang sakit hati -setidaknya ngedumel.

Bahkan, tokoh-tokoh yang dulu bisa mendapatkan dana dari Departemen Agama untuk kepentingan organisasi mereka, kini tidak bisa lagi. Dia tidak peduli terhadap permintaan fasilitas dari siapa pun. Termasuk dari tokoh-tokoh nasional sekali pun. Dia juga tidak mau menaikkan haji para kiai, ulama, pejabat-pejabat pemerintah atas fasilitas Departemen Agama. Tidak ada lagi istilah Haji Abidin (atas biaya dinas).

Semua katebelece tidak ada artinya di zaman menteri yang satu ini. Dari mana pun datangnya katebelece itu. Banyak sekali orang yang menilai, Maftuh sebagai "sableng" dan "sok jagoan". Tapi, dia memang merasa malu kalau Departemen Agama tidak bisa memberikan contoh sebagai departemen yang bersih. Apalagi, kalau sampai pejabatnya masuk penjara karena korupsi -yang dilarang agama itu.

Rupanya, menteri tidak hanya ingin melakukan "revolusi" di dalam negeri. Dia juga ingin mencoba "revolusi" di luar negeri. Tentu karena dia pernah begitu lama tinggal di Arab Saudi sehingga merasa tahu persis lika-liku di sana. Termasuk berbagai permainan yang terjadi selama musim haji.

Misalnya saja dana yang harus dibayarkan ke muassasah oleh jamaah haji ONH-plus (jamaah haji yang ditangani travel swasta). Muassasah, antara lain, bertugas menyiapkan akomodasi dan konsumsi selama jamaah haji berada di Mina dan Arafah. Hampir setiap tahun muassasah menaikkan tarif. Beberapa tahun lalu masih 1.000 real/orang, lalu naik menjadi 1.200 real, naik lagi menjadi 1.500 real, dan tahun lalu naik lagi jadi 1.850 real/orang. Padahal, inflasi di Arab Saudi di bawah dua persen.

Tapi, travel-travel yang tiap tahun mendapat jatah menangani 16.000 jamaah haji ONH-plus, tidak berhasil meminta potongan harga. Bahkan, tahun ini rencananya dikenai 2.000 real/orang.

Persatuan travel ONH-plus lalu mengadu ke menteri agama. Tapi, menteri mengajukan syarat agar tiga asosiasi penyelenggara haji ONH-plus bergabung jadi satu. Ini agar perjuangan yang dilakukan di Arab Saudi bisa bulat. Mesti berdirinya banyak asosiasi menjadi hak asasi manusia dan dijamin undang-undang, menteri tidak mau membela mereka kalau tidak bersatu dalam satu asosiasi.

Karena tarif yang dikenakan muassasah naik terus dan tahun ini di luar perhitungan travel, tiga asosiasi itu bersatu. Lalu minta menteri agama mem-back up asosiasi itu. Menteri pun melakukan "gebrakan" di Arab Saudi. Berhasil. Tahun ini, yang rencana harus membayar 2.000/orang, menjadi hanya 1.550/orang. Kalau dikalikan 16.000, lalu dikalikan Rp 2.500 (1 real = Rp 2.500), banyak juga penghematan yang bisa dilakukan.

Rupanya, menteri agama juga lagi ingin "menggebrak" muassasah untuk biaya makan jamaah haji biasa, yang tiap orang 300 real. Ini untuk 14 atau 13 kali makan, bergantung nafar-nya. Berarti sekali makan sekitar Rp 55.000. Sebab, jumlah jamaah haji biasa hampir 190.000 orang. Kalau biaya makan bisa turun sedikit, dikalikan 190.000 orang, akan luar biasa juga banyaknya.

Memang, kelihatannya tidak seberapa. Tapi, para penyelenggara haji swasta ONH-plus biasa menyerahkan makan ke katering swasta dengan harga Rp 40.000/orang. Itu sudah dengan tiga macam lauk, buah, dan minuman. Yang agak mewah, Rp 50.000/orang/makan. Memang, ada travel yang menyediakan makan mewah dengan Rp 100.000/orang/makan. Tapi, itu kelas hotel bintang lima.

Entah sudah berapa puluh tahun soal makan jamaah haji biasa selama di Arafah dan Mina sepenuhnya diserahkan ke muassasah. Seingat saya memang belum pernah ada yang berani mencoba "menghapus" peran muassasah ini. Baru menteri agama kali inilah yang berani melakukannya.

Organisasi muassasah memang sangat mapan dan kuat. Muassasah memiliki pelaksana di lapangan yang disebut "maktab". Tiap maktab mengurusi akomodasi dan konsumsi 2.000 jamaah haji. Masing-masing maktab punya dapur di Arafah, sebuah tanah lapangan mahaluas di tengah-tengah ketandusan padang pasir dan gunung batu, yang jaraknya sekitar 40 km dari kota Makkah. Jamaah haji dari seluruh dunia harus berkumpul di sini satu hari, tepat di hari raya haji.

Maka, muassasah yang menangani jamaah haji Indonesia, mempunyai sekitar 90 maktab di Arafah. Masing-masing mengurus makanan dan tenda 2.000 jamaah. Tahun ini mereka entah kerja apa. Yang jelas, sudah puluhan tahun mereka mengerjakan tugas itu, dan baru tahun ini tidak ada job. Ini karena menteri agama memilih menggunakan katering swasta, yang bisa menawarkan harga 50 real lebih murah.

Rupanya katering ini kurang siap. Kabarnya, mereka juga sudah menyiapkan dapur di Arafah, tapi bahan-bahannya terhambat untuk masuk Arafah. Tentu sebuah kesalahan manajemen yang fatal. Sebab, setiap tahun sudah diketahui, jalan dari Makkah menuju Arafah selalu macet-cet seperti itu. Saya sendiri ketika naik haji, memilih berjalan kaki dari Masjidilharam ke Arafah, sejauh 40 km itu. Lebih melelahkan, tapi juga cepat daripada yang naik bus. Berangkat setelah salat asar (pukul 5 sore), saya dan beberapa teman sudah tiba di Arafah pukul 24.00. Sayang memang, revolusi yang dilakukan menteri agama di Arab Saudi gagal. Kalau saja berhasil, bukan main bersejarahnya. (*)

Sumber : jawapos.com (http://jawapos.com/index.php?act=detail&id=8026)


"Long Road to Heaven": Siapa Takut?

"Apa sih mau kalian? Kenapa kalian terus membunuh kami? Apa untungnya?" Pertanyaan-pertanyaan itu dicecarkan Hannah Catrelle, seorang peselancar Amerika, pada Haji Ismail, seorang tokoh Muslim Bali, ketika mereka bertemu di sebuah rumah sakit di Bali, pada malam tragedi Bom Bali I, 12 Oktober 2002. Hannah tak dapat menerima kenyataan bahwa tempat yang dipercayainya sebagai surga diluluhlantakkan oleh peristiwa serupa yang telah mencuri nyawa kekasihnya dalam tragedi 9/11. Seperti kebanyakan orang Barat, ia juga melihat bahwa semua Muslim adalah teroris.

"Orang-orang yang melakukan tindakan keji ini, mereka tidak mengerti Islam. Tentang betapa agungnya agama itu... Mereka pikir, dengan melakukan hal ini, mereka mendapat jalan pintas menuju surga. Tapi jalan pintas ke surga tidak ada, Hannah. Jalan ke surga adalah perjalanan yang panjang," jawab Haji Ismail.

Percakapan ini adalah sebuah adegan dalam film Long Road to Heaven (LRtH), karya sutradara Enison Sinaro dan diproduksi oleh perusahaan Amerika TeleProduction International bekerjasama dengan Kalyana Shira Films di Indonesia. Film yang baru saja dirilis ini akan diikutsertakan dalam berbagai festival film internasional dan dilempar ke pasaran dunia

Film yang naskahnya digarap oleh dua penulis Singapura, Andy Logam Tan dan Wong Wai Leng ini mencoba mempertanyakan jihad militan sembari menunjukan bagaimana konsep tentang surga mengharubiru sejarah umat manusia. Usaha-usaha untuk mencapainya seringkali menciptakan kekerasan dan kesengsaraan yang berlawanan dengan citra surga sendiri.

Mengambi Tragedi Bom Bali 2002 Bali sebagai latar, LRtH mengisahkan empat cerita tentangkan kompleksitas pencarian surga dalam sebuah plot yang sangat rumit. Tiap kisah memiliki latar waktu yang berbeda, namun disajikan secara bersamaan, saling menyela satu sama lain.

Kisah pertama terjadi satu tahun sebelum Bom Bali 2002, saat para pemimpin Jama’ah Islamiah dan Mantiqi 1, dua organisasi yang bertanggung jawab atas pengeboman tersebut, merencanakan operasi. Kisah ini fokus pada usaha Mukhlas membujuk Hambali untuk memilih Bali sebagai target pengeboman, hanya karena seorang bule yang tak mengijikannya masuk ke dalam lift, mengenakan sebuah t-shirt bertuliskan "I Love Bali”.

Kisah kedua, berlangsung pada masa satu bulan sebelum Bom Bali. waktu Ali Imron dan anggota komplotan lainnya melaksanakan rencana mereka. Di sini disajikan persaingan antar mereka dan motivasi-motivasi tersembunyi mereka.

Kisah ketiga berputar pada menit-menit setelah pengeboman, ketika paramedis dan sukarelawan menolong korban luka dan mengidentifikasi korban tewas. Di sinilah, Hannah, dalam interaksinya dengan Haji Ismail, bergelut dengan prasangka-prasangka dan stereotipe-stereotipenya terhadap Islam dan Muslim.

Kisah terakhir mengambil waktu satu tahun setelah peristiwa pengeboman, saat seorang wartawati Australia, Liz Thompson, mendatangai Bali untuk mendapatkan sebuah laporan yang menarik. Ditemani Wayan Diya, sopir taksi yang disewanya, Liz berkeliling Bali untuk mewawancarai penduduk lokal tentang perasaan mereka akan peristiwa tersebut dan para pengebom. Liz gagal mendapatkan pernyataan-pernyataan yang menarik. Jawaban yang selalu ia dapatkan hanyalah, “Hidup akan menjadi lebih baik” Dari Wayan, ia kemudian belajar bahwa orang-orang Bali percaya bahwa keseimbangan adalah inti dari kehidupan, sebab itulah mereka memaafkan pengeboman tersebut, bahkan melihatnya sebagai sebuah hukuman dari para dewa karena dosa-dosa mereka.

Sebagai sebuah film yang mengangkat tragedi, LRtH tak dapat melepaskan diri dari dilema etis. Di satu sisi ia menunjukan belasungkawa, di sisi lain, intensi artistik dan kesenangan yang ditawarkannya menunjukan kekebasan hati pada duka para korban dan/atau keluarganya.

"Hal itu tak terelakan. Tapi kami tak mengeksploitasinya. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari tragedi tersebut," ujar Enison, sang sutradara.

Enison benar. Salah satu dari pelajaran itu terlukis dalam kata-kata mutiara yang mengalir dari bibir Haji Ismail ketika bercakap-cakap dengan Hanna: "Yang mereka (para pengebom) lihat hanyalah hal-hal kecil belaka. Mereka tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Mereka tak bisa melihat sesuatu selain rasa sakit yang mereka derita."

Meskipun kata-kata itu sesungguhnya ditujukan bagi para pengebom, tetapi ia juga menjawab wacana moral di atas, dengan menunjukan bahwa film ini bukan hanya narasi “surga yang hilang” tetapi juga “penemuan kembali surga”. Mendengar kata-kata itu, Hannah menyadari bagaimana prasangka-prasangka, yang berakar pada kemarahan akan surganya yang hilang dan kepedihan atas kematian kekasihnya dalam tragedi 11/9, dapat menjerumuskannya pada kebencian yang sama dengan yang dirasakan oleh para teroris, meski mungkin ujungnya berbeda.

Hal lain dan mungkin yang lebih penting, film tersebut dapat dilihat sebagai sebuah pesan bagi kita bahwa pemahaman saja tidak cukup untuk menghentikan terorisme atau kekerasan. Pertama sekali, kita harus berdamai dengan diri sendiri, melucutkan diri dari ego kita. Baru kemudian kita dapat melangkah memasuki “liyan”, tanpa persyaratan apa pun.

Ini bukan tugas yang mudah, namun sebagaimana dinyatakan oleh Haji Ismail, jalan ke surga adalah sebuah jalan yang panjang. Siapa takut?

###

* Nuruddin Asyhadie adalah seorang penyair, penulis naskah drama, penulis skenario, serta komentator sastra dan filsafat. Ia juga salah satu pendiri F, sebuah majalah film Indonesia. Buku-bukunya "Hampiran Hamparan Gramatologi Derrida" (2004) dan "Beatniks, dan puisi-puisi lainnya" (2001). Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 27 Februari 2007, www.commongroundnews.org

Ali Imron, Sang Pengebom, Beri 'Kuliah'

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Hotel Borobudur, Jakarta, 6 Maret 2008, punya arti tersendiri bagi saya. Sehari sebelum itu, seorang Jenderal Polisi menghubungi saya untuk berbicara di depan para petinggi dan pelaksana Densus dan Satgas 88 dengan topik "Radikalisme dalam Islam". Densus dan Satgas ini punya tugas tunggal: mengamankan negeri ini dari terorisme. Bom Bali, bom Marriot, bom di kedutaan Australia, bom Atrium, bom gereja, bom Batam, dan masih ada peledakan bom di beberapa tempat lain di tanah air kita sebagai fakta keras bahwa Nusantara ini cukup rentan untuk dijadikan sasaran tindakan teror. Tetapi, pihak kepolisian sadar betul terorisme akan sulit dimusnahkan selama kesenjangan sosial ekonomi masih menganga dan praktik korupsi yang seolah-olah tidak bisa dilawan. Inilah yang sering saya katakan sebagai rumput kering bagi kelompok kriminal untuk melancarkan aksinya.

Memang, ada ideologi asing yang dibawa masuk ke negeri ini berupa paham agama (Islam) yang ditafsirkan secara sempit dan monolitik dengan muatan politik kekuasaan yang sangat kental. Kelompok teror ini sebenarnya adalah korban Perang Dingin antara blok kapitalis dan blok komunis. Tapi, sedikit di antara mereka yang mau menyadari kenyataan pahit ini.

Pimpinan sidang dalam pertemuan Borobudur itu adalah Jenderal Pol. Surya Dharma dengan kata pengantar Jenderal Gories Mere, mantan Ketua Tim Investigasi Lapangan bom Bali. Uraian saya tidak penting untuk direkamkan di sini, selain mengatakan radikalisme dalam sejarah Islam bukan barang baru. Akar sejarahnya telah menembus lipatan abad yang panjang, khususnya yang paling menonjol adalah puak penyempal dari barisan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan sebutan kaum Khawarij yang sudah muncul sejak 657 Masehi pascaperundingan Daumatul Jandal.

Dengan demikian, radikalisme, baik yang ekstrem dalam bentuk teror maupun yang agak moderat, sama-sama punya akar sejarah dan dasar teologi dalam perkembangan sejarah Islam. Untuk Indonesia, radikalisme dan terorisme adalah barang impor yang tidak senyawa dengan kultur bangsa ini. Tentunya, kedua hal itu akan bermuara pada kegagalan dan meninggalkan korban manusia tak bersalah.

Imron adalah seorang korban Perang Dingin itu. Setelah mendapat latihan perang dan membuat bom di Afghanistan selama beberapa tahun, ia pulang ke Indonesia. Dia terlibat sebagai koordinator lapangan bom Bali, 12 Oktober 2002. Kini, ia telah dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara yang lain ada yang dijatuhi hukuman mati. Imron sudah mengaku bersalah dan bahkan mohon grasi kepada presiden. Di luar pengetahuan saya sebelumnya, pihak kepolisian ternyata mendatangkan Ali Imron untuk turut berbicara.

Dengan gaya seorang yang percaya diri, Imron menjelaskan seluk-beluk terorisme di Indonesia. Rampung sesi pertama di Borobudur, pihak kepolisian pun mengantar saya ke Kuningan. Ternyata, di mobil sudah ada Bung Imron. Dalam perjalanan ke Kuningan, Bung Imron berkata kepada saya, "Kami merasa senang telah dibela oleh beberapa pemimpin Islam, tetapi fakta jangan dibelokkan." Maksudnya, bom Bali dikaitkan oleh banyak orang sebagai rekayasa pihak asing. "Ini tidak benar," kata Imron untuk menegaskan pelakunya memang mereka.

Dengan demikian, teori konspirasi yang dulu juga dianut oleh Jenderal Zen Maulani (alm) tidak punya dasar sama sekali. Sebab itu, kita harus menyampaikan salut kepada pihak kepolisian yang telah berjaya menyingkap tragedi Bali ini dalam tempo singkat. Jadi, tidak mengherankan jika dunia internasional memuji polisi Indonesia walau masih ada saja pihak yang bersikap sinis.

"Kuliah" Imron di Borobudur disampaikan secara jelas, runtut, dan tanpa ragu. Lewat pesan singkatnya kepada saya, Imron berkata, "Semoga kita semua dikuatkan Allah untuk memperjuangkan kebenaran sebagai rahmat bagi semesta alam. Amin!" Ungkapan pesan ini bagi saya sangat menyejukkan. Sekarang Imron, sang pengebom, mau kembali kepada diktum sentral dalam Alquran bahwa nabi diutus bukan untuk menghancurkan manusia dan peradaban, tetapi untuk menebarkan rahmat kepada seluruh makhluk.

Buku Bung Imron Ali Imron Sang Pengebom terbitan Republika (November 2007) telah saya baca dan patut pula dibaca oleh siapa saja yang ingin tahu bagaimana jasa kepolisian kita mengungkapkan jaringan terorisme ini. Dari sisi ini, Bung Imron, dengan segala kemungkinan risiko yang dihadapinya, telah mengakui bom-bom yang diledakkan di Indonesia sama sekali tidak punya dasar syariat agama. Dalam ungkapan saya, "Semuanya itu adalah petualangan jahat dan biadab dengan memperalat agama."

Sumber: http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=326472&kat_id=19

Paskah, Kemenangan Korban

Wolfgang Borchert, sastrawan Jerman (1921-1947), menulis sebuah drama, Draussen vor der Tür. Dalam karya ini dilukiskan kisah Beckmann, seorang tentara muda yang baru kembali dari front di Rusia. Beberapa saat setelah perang, Beckmann mengunjungi rumah seorang kolonel, mantan atasannya selama bertugas di Rusia. Kolonel itu pernah memerintahkan Beckmann bersama anak buahnya untuk mengadakan patroli. Dalam patroli penuh risiko itu, 11 dari 20 anak buahnya menemui ajal.

Malam itu Beckmann datang untuk mengembalikan tanggung jawab kepada kolonel. Ia berkata, ”Kolonel.... Mereka bertanya tiap malam.... Perempuan, perempuan yang sedih dan penuh duka. Perempuan tua dengan rambut memutih dan tangan yang keras dan pecah-pecah—perempuan muda dengan mata sayu penuh kerinduan. Juga anak-anak…. Kolonel dapat tidur nyenyak? Kalau begitu, tidak apa-apa jika tanggung jawabku atas yang sebelas itu kutambahkan ke bagian Kolonel yang dua ribu itu. Kolonel bisa tidur, kan? Dengan hantu malam yang dua ribu itu?”

Borchert adalah seorang ateis. Dia melukiskan keberlangsungan kisah korban sebagai kehidupan yang dilanjutkan jeritan pencinta para korban. Pengaduan menandakan belum selesainya kisah para korban. Yang menjadi inti pesannya adalah kisah para korban itu tidak dapat diakhiri karena ada orang lain yang akan terus mengingat wajah dan menyebut nama mereka. Para korban tidak mudah dihapus dari ingatan seperti aparat hukum menghapus kesalahan para koruptor.

Kasih yang mengingat

Orang-orang yang dekat dengan para korban masih memelihara kenangan yang hangat. Ada yang terus membawa wajah mereka dalam cermin batinnya dan senantiasa menggemakan nama mereka di tengah kesunyian. Mereka hidup di dalam orang-orang yang memperjuangkan keadilan demi nama mereka.

Sebenarnya, yang dirayakan umat Kristiani pada hari raya Paskah adalah hal yang sama. Sejarah Yesus, korban yang disalibkan, tidak berakhir dengan kematian. Iman Kristen mengatakan, Yesus dibangkitkan. Tuhan membawa sang korban kembali ke kehidupan kendati para penguasa agama dan politik yang berkoalisi serta serdadu yang nuraninya telah digadaikan berusaha menghapus nama dan membuat wajahnya tak lagi dikenal.

Kebangkitan Kristus menyadarkan, para korban mempunyai Allah sebagai pencinta. Sang Pencinta ini tak mudah disogok dengan serba kesalehan yang ditunjukkan untuk menenangkan batin yang sering dihantui karena telah menjatuhkan atau merestui kejatuhan sekian banyak korban.

Yesus mengidentikkan diri dengan korban dan kaum yang tersisih. Maka, dengan menghidupkan kembali Yesus, Tuhan memaklumkan diri sebagai daya kasih yang merangkul dan mengingat semua korban. Dalam sejarah, korban adalah mereka yang hilang tanpa jejak, anak-anak yang kurang mendapat perhatian, para perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, rakyat yang sering ditipu berbagai keputusan politik. Mereka memiliki seorang pencinta ilahi, pemilik ingatan yang abadi.

Ingatan yang menggugat

Tuhan menghidupkan Yesus yang telah disalibkan sebagai penjahat dan pengkhianat. Maka, Tuhan tidak hanya memulihkan nama baik Yesus, setelah nama itu dicemarkan pengadilan yang mudah diarahkan oleh kepentingan para penguasa politik dan pejabat agama. Kebangkitannya juga berarti menjadikan kisah korban sebuah kisah terbuka.

Yang dianggap telah selesai kini dibuka kembali, yang telah dikuburkan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi diungkap kembali. Kebangkitan mengatakan, persoalan tidak dapat diselesaikan dengan membungkam korban. Pejuang keadilan akan selalu tampil dan membongkar kebusukan, suara keadilan akan tetap didengarkan di tengah upaya pemalsuan sejarah.

Korban yang hidup dan dikenang dalam ingatan adalah korban yang memberi kesaksian akan ketidakadilan yang dialami. Kehidupan korban yang dibangkitkan akan menjadi gugatan bagi pelaku ketidakadilan. Seperti kepada Kain yang melarikan diri seusai membunuh saudaranya, kepada pelaku kejahatan Allah akan melontarkan pertanyaan gugatan tentang korban. Kisah korban yang belum selesai menggoyahkan segala kekuasaan yang menganyam kemapanan dari harapan akan ingatan pendek dari massa. Kenangan akan korban menggugat kemapanan dan bersifat subversif terhadap kekuasaan yang tidak adil.

Kebangkitan Kristus dan hak korban akan menunjukkan batas jangkauan kekuasaan. Kekuasaan, betapapun kuat dan bengis, tak sanggup melaksanakan segala yang dikehendaki. Ketika korban yang dianggap telah diamankan dan dilupakan ternyata datang lagi, saat itu tumpuan kekuasaan mulai goyah. Kekuasaan tak dapat merekayasa datangnya suara korban, dia tak sanggup melarang tuntutan keadilan.

Ada yang tak dapat dilakukan oleh kekuasaan, betapapun rapinya organisasi. Mengakui batas kekuasaan berarti menerima dan mengakui kesalahan yang pernah ditimpakan kepada orang lain. Hanya bersama korban dan dalam kekuatan Paskah yang mematahkan dominasi kekuasaan manusia dapat diwartakan kebangkitan sebagai pesan kehidupan bersama korban. Merayakan kebangkitan dalam nada ini berarti merayakan hak para korban. Mereka tidak bisa dihapus dari sejarah. Kisah mereka belum selesai. Paskah berarti kita harus bersedia mendengar para korban.

Budi Kleden Dosen Teologi STK Ledalero, Flores

Sumber: http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.22.00163477&channel=2&mn=158&idx=158


Maulid Nabi dan Spirit Perubahan Sosial

Maulid Nabi Muhammad SAW dalam khazanah tradisi Islam acapkali diperingati dengan beragam ritual-religius. Peringatan dan ritualisme-religius tersebut di satu sisi merupakan cerminan cinta sekaligus penghormatan kaum Muslim kepada sosok pribadi yang memesona, yakni nabi dan rasul terakhir dalam Islam, Muhammad SAW. Di sisi lain, upaya mengingat jejak dan kisah Nabi Muhammad SAW yang biasa diperingati setiap 12 Rabiul Awal itu, seharusnya bukan sekadar menjalankan tradisi dan ritualisme sesaat semata. Juga bukan kesempatan melantunkan kata pujian kepada Baginda Nabi, sebagaimana tertulis dalam Diba’i, Barzanji atau Simtud Durar yang demikian akrab dalam telinga umat Islam di seantero Indonesia.

Lebih dari itu semua, momentum Maulid Nabi kali ini seharusnya perlu dijadikan moment untuk refleksi, koreksi, intropeksi dan revitalisasi ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW bagi perubahan sosial. Muaranya adalah tak lain dalam upaya menapaki jalan hidup demi meraih dan merengkuh ridha Allah SWT. Sebab untuk apa merayakan dan memeringati, jika berubah menjadi ajang pelestarian tradisi lokal yang penuh aroma mistis berbau klenik dan terkesan irrasional yang justru bertentangan dengan syara’ dan akidah Islam.

Sebagai kelompok mayoritas, kaum Muslimin di Indonesia hendaknya menyadari dan menghayati (kembali), bahwa spirit Maulid Nabi (seharusnya) bukan pada prosesi ritual yang meriah seperti yang selama ini kita lakukan. Akan tetapi, bagaimana kita bisa memaknai ulang esensi substantifnya dan pada ranah esoteris religiositasnya agar kita bisa meraskan elan vital ajaran Islam bagi kehidupan modern hari ini.

Era globalisasi kini telah merangsang perkembangan di berbagai aspek kehidupan. Belum lagi belakangan selalu muncul bayang-bayang ancaman radikalisme dan terorisme yang selama ini bergulir, bikin hati setiap orang takut dan tidak tenteram. Dalam konteks semacam ini, maka tantangan dakwah Islam yang dihadapi para penggiat dakwah Islam menuntut para da’i untuk mengimbangi kecerdasan objek dakwah dan mencari solusi jitu-nya.

Menuju Social Change

Refleksi atas Maulid Nabi Muhammad kali ini, muncul sebuah pertanyaan yang mendesak untuk segera dijawab, "Benarkah agama (Islam) memiliki spirit perubahan sosial atau justru sebagai instrument yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan status quo ?"
Manakala kita menelaah sirah nabawiyah, maka kita akan jumpai kisah nabi-nabi utusan Allah senantiasa datang membawa perubahan besar dalam struktur sosial kemasyarakatan di mana nabi itu berada. Agama dan ajaran yang mereka bawa adalah agama pembebasan, agama revolusioner, agama yang terus menerus “meneror” pengikutnya untuk terus menabur benih perjuangan dan perbaikan untuk menjadi pemimpin di muka bumi, dan menegakkan kebaikan, kedamaian, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi semua.
Dalam perspektif sosial-politik, kisah Muhammad bisa dilihat dan dipahami sebagai sosok politikus andal, pemimpin adil, egaliter, toleran, humanis, non-diskriminatif dan hegemonik. Beliau mampu membawa tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera dan tentram.

Bila disimak proses reformasi sosial-kultural yang berhasil direalisasikan oleh Muhammad dalam tatanan sosial masyarakat Arab kala itu, dengan mengubah citra sosial-kultural masyarakat Arab yang awalnya sarat dengan segala bentuk diskriminasi dan hegemoni sosial-kultral, baik dalam tatanan ras, golongan, jender, bahkan agama menuju suatu tatanan sosial masyarakat Arab yang egaliter.

Sistem sosial-politik yang cenderung merangkul kaum diskriminatif dan mengubah perspektif sosio-kultural negatif masyarakat Arab kala itu, terhadap kaum yang berada dalam strata sosial-ekonomi bawah merupakan salah satu bentuk strategi politik dan ketaladanan sosial-politik sosok Muhammad sebagai seorang pemimpin umat.

Dalam konteks inilah, tak heran bila Michael H Hart, dalam buku fenomenalnya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History (1978) menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Menurut Hart, Muhammad adalah satu-satunya orang yang berhasil meraih keberhasilan luar biasa baik dalam hal agama maupun hal duniawi. Dia memimpin bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa maju yang bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi di medan pertempuran.

Nah, dari kisah nabi Muhammad tersebut sebetulnya bisa diambil hikmah bagaimana kita bisa berjihad melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik, bukan sebalinya ke arah buruk. Tentu saja, jihad mulia ini tidak segampang membalik telapak tangan, akan tetapi akan mudah bila ada kemauan sembari melakukan perbuatan dan tindakan nyata.

Manakala dijumpai kesenjangan jarak antara ranah idealitas dengan realitas yang ada. Maka, masalah sosial keagamaan acapkali terjadi karena ada yang tidak sesuai dengan harapan yang telah ditorehkan dalam iman agama dengan realitas bagaimana agama tersebut diamalkan di tengah-tengah masyarakat. Kita lihat dalam praktiknya -terutama dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia- keberagamaan kita menampilkan wajah ambiguitas. Adanya perbedaan yang signifikan antara keshalehan pribadi dengan keshalehan sosial.

Keshalehan pribadi yang kemudian diharapkan menular, menyebar untuk terciptanya kondisi sosial yang shaleh tidak jua terwujud. Realitas agama hanya terjebak pada dimensi keshalehan pribadi yang berorientasi pada kesucian perorangan. Ukurannya hanya sekedar persembahan belaka, tapi tidak mampu memperbaharui perilaku sosial. Ini terjadi karena pemeluk agama masih terejebak pada persoalan kuantitas keimanan, bukan pada kualitas keimanannya. Agama hanya dihayati sekedar ritual belaka, tetapi dirinya terasing terhadap realitas kehidupan kemasyarakatan.

Itulah realitasnya, penganut agama gagal mempraktikkan agama yang sesungguhnya, agama yang memiliki iman yang memihak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan. Perubahan orientasi keagamaan seharusnya lebih difokuskan pada nilai-nilai kemanusiaan, sehingga spirit perubahan sosial dalam agama benar-benar dapat muncul ke permukaan.

Orang yang benar-benar religius (Islam Kaffah) adalah orang yang memiliki kepekaan dan sensitifitas yang tinggi pada penderitaan kaum miskin yang tertindas. Kemiskinan memang menjadi persoalan krusial yang kemudian wajib untuk diperangi, karena kemiskinan mendekatkan orang pada kekufuran. Maka melawan kemiskinan adalah perintah sekaligus mungkin jihad kabir.

Kualitas religius inilah yang akan membantu umat beragama memiliki kesadaran religiusitas yang berkualitas dan berimplikasi pada perubahan sosial. Kualitas religiusitas semacam ini yang akan bisa membawa nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan semakin nyata. Singkat kata, agama sudah seharusnya menjadi inspirasi untuk melakukan tindakan revolusioner menuju perubahan kehidupan yang lebih bermakna. Semoga.***

Penulis: Choirul Mahfud, pecinta jejak rasululullah, warga Muhammadiyyin.

Use of violence in democracy

One of the main characteristics that differentiates a democratic system from a non-democratic system is the use of violence in politics. An authoritarian or totalitarian system may allow for the use of violence in solving political problems and achieving political goals, but a democratic system strictly prohibits any use of violence and relies instead on deliberations and discursive competition. In that connection one can have a good criterion to judge whether or not and the extent to which the 1998 political reform in Indonesia has made progress in the process of democratization. It is interesting to see that unlike the 20th century that was characterized by conflicts between states, the 21st century seems to suffer more from conflicts within the states.

With regard to Indonesia the conflicts within state take the form of inter-ethnic and inter-religious groups on the one hand, and conflicts between the locals and the immigrants on the other.

One can also notice a big difference between conflicts before and after 1998's political reform. Before 1998 the main pattern of social conflict was vertical in nature, that is, they occurred between state and society.

After 1998, conflicts have taken the form of convulsions within society among and between various social groups. Social conflicts become the result of horizontal interactions.

The state-society conflicts were usually overcome by means of state repressive violence through military intervention, whereas one can easily escalate conflicts within society into civilian violence. The case of Sampit in Central Kalimantan and the case of the protracted conflict of Ambon were strong evidence for the fierce violence undertaken by society within society.

Looking at those situations a question might arise as whether or not democracy works or does not work ever since the 1998 reformasi, and if it does, to what extent. If democracy is a non-violent method of problem-solving that is carried out through discursive contestation with main and constant reference to the state law, every tendency towards the use of physical violence must originate either in the lack of capacity of sound and persuasive political deliberations or in the ineffectiveness of the existing legal system.

In that connection one has to clearly distinguish the legitimate use of violence from the non-legitimate use of it. Democratic system justifies the state's monopoly of the use of violence. It implies that only the state can exercise violence legitimately while all other social institutions are denied right and permission to make violent actions.

However, the state's use of violence is to be understood as a coercive power that can be exercised to force citizens to obey the law. If the state uses violence for purposes other than the observance of the law, people can raise the question concerning the rationale of the use of state violence and whether that use of violence is legitimate at all.

Needless to say, though state's violence may be effective in pushing for the observance of the law, it can never, however, be effective in forcing political will formation that becomes a constitutive element of democracy.

For the latter purpose one has to rely on public discourse and political deliberations that are to compete for the best political conception or solution.

During the New Order, the Soeharto government forcefully recommended the use of an indigenous way of consensus building known as musyawarah-mufakat. In its traditional form this was a method of achieving a consensus not by means of voting but by means of a family-type talk. One was not supposed to win the consensus through persuasion and discourse contestation but rather by gathering agreement and sympathy from people who felt respected by the contestants.

This indigenous way of building a consensus is losing its legitimacy because in the real political practice it was used as a means to superimpose a prefabricated political decision by means of exerting political hegemony of the power-that-be without sufficient opportunity for the people to make up their own mind.

In the present politics of Indonesia, consensus building is still in imminent danger because of the reliance upon the primordial sentiments during direct election of district heads and mayors at the district level, and the danger of "venal violence" in the form of money politics at the national and provincial level.

The country is obviously running the risk of having a political decision without sufficient will formation, whereby democracy is very likely to suffer from the lack of a real political consensus that is to underpin the workings and the sustainability of peoples' will to defend what they have agreed upon.

by Ignas Kleden
The writer is a sociologist and chairman of the Indonesian Community for Democracy (KID).

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/18/use-violence-democracy.html


Jilbab – Dari Universitas ke Dunia Kerja

Pada 9 Pebruari 2008, 411 dari 550 anggota parlemen memberi suara dalam mendukung perubahan reformasi undang-undang yang akan mengendurkan larangan pengenaan jilbab di universitas-universitas Turki dan mengamandemen konstitusi. Amandemen menyatakan bahwa ”negara akan memperlakukan setiap orang secara sejajar ketika memberikan pelayanan seperti pendidikan universitas dan tak seorangpun bisa dihalangi dari mendapatkan pendidikan untuk alasan-alasan yang tidak dirumuskan dengan jelas oleh hukum.” Peristiwa baru-baru ini menciptakan kontroversi tentang apakah mengenakan jilbab harus menjadi keputusan negara atau masalah pribadi. Namun, apa yang jarang diperdebatkan di media, tapi mungkin sama pentingnya bagi wanita muda Muslim, adalah efek jilbab pada lulusan universitas yang ambisius, yang sangat ingin menemukan tempat mereka di dunia kerja.

Wanita Muslim di seluruh Timur Tengah menghadapi dua perlawanan: mendapatkan kebebasan untuk mengenakan jilbab atau tidak, dan apapun pilihan mereka, menghadapi penilaian orang lain.

Ketika saya memasuki salah satu kelas, Selasa lalu, di American University of Beirut (AUB) di Lebanon, saya mencari-cari teman saya, Nadine. Saya tidak melihat jilbab merah mudahnya, jadi saya kira dia belum tiba dan langsung duduk di kursi saya. Sebentar kemudian, saya kaget mendengarnya memanggil nama saya. Saya terpana melihatnya telah menanggalkan jilbabnya.

“Hei, kau tak pakai jilbab,” kata saya, sambil menunjuk ke rambut saya. Dia tertawa kecil dengan gugup dan berkata, “Ya, saya berusaha menjadi ilmuwan sosial dan mengenakan jilbab membawa terlalu banyak implikasi."

Benar bahwa sekarang ini, jilbab telah menjadi simbol berkonotasi religius, politik dan sosial. Namun, alasan mengapa wanita memilih mengenakannya, atau tidak mengenakannya, kerap amat beragam.

Citra wanita berjilbab sebagai tertekan dan didominasi oleh masyarakat Arab yang patriarki tempat dia tinggal sudah berubah, karena setidaknya di Lebanon, kebanyakan wanita muda secara aktif terlibat dalam menentukan apakah mau atau tidak mengenakan jilbab.

Orang biasanya menganggap AUB sebagai tempat para ekstrimis bertemu: sebagian wanita muda berpakaian secara konservatif, sementara yang lain memperlihatkan sebagian besar kulitnya. Konsekuensinya, sebagian wanita muda mengenakan jilbab sebagai cara untuk menjauhkan diri secara sosial dari penganut liberal yang ekstrim.

Ahli antropologi seperti Robert Murphy telah menganalisa peran jilbab dalam interaksi sosial. Dalam Social Distance and the Veil (Jarak Sosial dan Jilbab), dia menulis, “Interaksi itu mengancam secara definisi, dan tertutup, di sini terlihat sebagai satu aspek jarak, bertugas memberikan perlindungan parsial dan temporer pada diri sendiri."

Jadi, dalam masyarakat di mana penampilan fisik begitu diperhatikan dan identitas gender berada dalam fase transisi yang ambigu, jilbab kerap diacu sebagai alat perlindungan – dan bahkan afirmasi – dari identitas seseorang.

Sebagian wanita muda memilih untuk tidak mengenakan jilbab karena mereka bisa dikategorikan dalam cara-cara yang mungkin membatasi kesempatan lapangan kerja mereka. Seorang pelajar secara ironis bertanya pada saya, “Pernahkah kau melihat sales representatives yang tidak tinggi, cantik, dan dengan rambut yang sempurna? Dengan kemampuan marketing saya, saya bisa menjual sebanyak gadis-gadis itu” katanya sambil mengangkat bahu, “Tapi jika saya memakai jilbab, keterampilan saya tak akan berarti apa-apa, ia akan hilang terbawa angin lalu.”

Ini, saya pikir, adalah aspek yang paling tidak adil. Motivasi sejati Nadine ketika menanggalkan jilbabnya adalah tekanan dan kekhawatiran ditolak atau dianggap berbeda, bukan sebagai orang yang religius, tapi sebagai seorang profesional.

“Bayangkan jika suatu hari saya harus melaksanakan survei mengenai penyebab angka perceraian dan melaksanakan wawancara mendalam dengan wanita ‘modern’” katanya. “Entah bagaimana saya ragu mereka tidak akan memiliki prasangka tentang saya ketika mereka melihat saya mengenakan jilbab.”

Nadine berpikir orang yang diwawancarai akan berasumsi bahwa dia terlalu tradisionalis untuk menerima sesuatu yang berbeda. Sebagai ilmuwan sosial dia akan terekspos dengan banyak situasi di mana dia ingin dievaluasi berdasarkan kompetensinya; dan entah bagaimana ia merasa bahwa jilbabnya akan menghalangi penilaian tersebut.

Meski tidak ada hukum di Lebanon yang melarang mengenakan jilbab, sebagian wanita tahu bahwa jilbab bisa menghalangi mereka mengejar kesempatan kerja tertentu atau mencegah mereka berkembang dalam profesi tertentu.

Ketika seorang wanita merasa bahwa keahlian dan kompetensinya dinilai berdasarkan jilbab, maka itu menjadi suatu bentuk diskriminasi di tempat kerja, seperti hal-hal lainnya.

Sebagian wanita mengenakan jilbab sebagai tanda yang terlihat dari identitas mereka sebagai Muslim atau karena mereka percaya bahwa itu kewajiban religius, dan sebagian wanita mengenakannya karena merasa jilbab membuat mereka dihormati. Meski demikian, itu tidak ada hubungannya dengan kemampuan profesional mereka dan berasumsi sebaliknya akan tidak adil.

* Nathalie Nahas adalah mahasiswa American University of Beirut (AUB) jurusan anthropologi. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan bisa diakses di www.commongroundnews.org.

Sumber: Kantor Berita Common Ground, 18 Maret 2008,