Jumat, 10 Agustus 2007

Memperkuat Hubungan Islam & Barat Melalui Pendidikan

Oleh: Choirul Mahfud, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya, kini staf pendidik UM Surabaya.

Belum lama ini, Presiden Amerika Serikat George Walker Bush berkunjung ke Indonesia. Salah satu tujuan kedatangan Presiden Bush ke Indonesia adalah melakukan kerja sama dalam bidang pendidikan. Terlepas dari pro kontra kunjungan Bush yang cukup menyita perhatian publik di tanah air, kerjasama Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) di bidang pendidikan tersebut patut diapresiasi bersama. Sebab selama ini hubungan Barat dan Islam (Indonesia) lebih banyak melalui kerjasama dialog dan seminar ketimbang melalui jalur pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan salah satu media strategis untuk penciptaan perdamaian, penanaman sikap saling toleran dan memperkenalkan keragaman budaya diantara keduanya.

Menurut Muhammad Syahid dalam bukunya Rihlatul Fikr al-Islâmi (perjalanan pemikiran Islam) bangkit dan berkembangnya sebuah peradaban selalu terkait dengan kerjasama keilmuan (pendidikan). Kebangkitan Islam pada masa-masa awal tak bisa dilepaskan dari pengaruh filsafat Yunani yang diterjemahkan secara massif di dunia Islam saat itu.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Barat pada abad pertengahan. Pada masa ini, karya-karya penting pemikir muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan aL-Ghazali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Bahkan pada tahun 1143 M al-Quran untuk pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.

Di sinilah arti penting kunjungan Bush terakhir ke Indonesia, terutama menyangkut kerjasama pendidikan yang telah menjadi komitmen kedua belah pihak. Menurut hemat saya, kerjasama ini harus terus dikembangkan mencakup negara-negara Barat lain dan dunia Islam secara umum. Karena kebangkitan peradaban selalu diawali dari kerjasama keilmuan ini.

Untuk dunia Islam pada umumnya dan Indonesia khususnya, kerjasama ini harus dikembangkan menjadi kebijakan negara. Hingga kebijakan negara tak hanya melulu demi kepentingan pragmatisme kekuasaan yang bersifat sementara, tetapi juga memberikan perhatian terhadap masa depan keilmuan yang berdampak jauh ke depan. Diakui atau tidak, negara mempunyai peran yang sangat signifikan bagi perkembangan pengetahuan.

Untuk negara-negara Barat, kerjasama keilmuan ini harus mampu mengawal ilmu pengetahuan agar senantiasa meniti di jalannya semula, yaitu untuk perdamaian, pencerahan dan kemanusiaan. Hingga pengetahuan (teknologi) tidak menghanguskan kemanusiaan seperti yang terjadi di Irak sekarang. Selain Einstein adalah J.J. Roussou, salah satu tokoh peletak dasar pencerahan Eropa pernah mengatakan, sebuah pencerahan tidaklah bermakna apa pun bila terlepas dari nilai-nilai keimanan. Pengetahuan pun tak bermakna apa-apa bila tidak mengabdi kepada kemanusiaan. Ke depan, relasi Islam dan Barat harus diposisikan dalam konteks kerjasama kelimuan, bukan kekuasaan.

Kerjasama dalam pendidikan sangat penting untuk menjaga dan memperkuat hubungan Barat dan Islam dalam mewujudkan perdamaian dunia. Cita-cita ini sangat penting mengingat hubungan Barat dan Islam terus mengalami pasang surut.

John L. Esposito pernah menyatakan bahwa tragedi 11 September 2001 telah merombak tatanan kontsruktif hubungan Islam dan Barat yang telah dibangun berbagai pihak sejak lama. Kini, hubungan itu kembali tegang. Baru-baru ini, misalnya, kita kembali dikejutkan isu pelecehan Alquran yang dilakukan tentara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba. Peristiwa itu telah membakar emosi umat Islam di berbagai negara. Ribuan massa di Jakarta, Kabul, Cairo dan Islamabad memadati jalan-jalan ibukota masing-masing untuk mengungkapkan kutukan mereka pada Amerika.

Persoalan di atas hanya bagian kecil dari bentuk perbenturan Barat (khususnya Amerika) dan Islam. Bila bangunan toleransi dan saling memahami tidak kembali ditata, agresi dan teror akan terus mewarnai hubungan Islam-Barat.

Pasang-surutnya hubungan Islam dan Barat bila dianalisis setidaknya karena dua alasan. Pertama, sikap saling khawatir dan takut antar Islam dan Barat akibat dari ketidaktahuan. Akibatnya, Barat selalu memandang Islam dengan perspektif yang negatif. Montgomery Watt, misalnya, mengatakan bahwa Barat telah lama menjadi ahli waris prasangka masa lalunya. Citra negatif Islam itu di Barat masih saja membekas dan terus menerus mendominasi pemikiran Barat. Sampai kini pengetahuan Barat terhadap Islam masih bersifat parsial dan bias.

Sebaliknya, mayoritas muslim juga punya pandangan tersendiri tentang peradaban Barat. Barat selamanya ditempatkan bukan sebagai mitra dialog antar budaya, tapi sebagai musuh yang selalu menjajah. Barat juga dinilai telah mengalami krisis spiritual dan mestinya harus kembali kepada semangat Islam. Ilmu pengetahuan dan teknologi Barat dianggap tidak lagi membawa kesejahteraan dan perdamaian. Lalu, muncul pula arogansi Islam yang terlalu percaya diri mendeklarasikan sains Islam dan segala proyek islamisasinya.

Karena itu, hubungan Islam-Barat sampai kini perlu terus diperkuat melalui kerjasama melalui pendidikan. Upaya saling tukar pelajar dan pengajar mungkin menjadi salah satu upaya strategis bagi usaha mewujudkan sikap saling memahami dan toleran.

Kerjasama lewat pendidikan ini penting bagi penciptaan perdamaian di masa yang akan datang. Sebab, masa depan peradaban global salah satunya ikut ditentukan oleh harmonisasi dua peradaban ini. Oleh sebab itu, bukan saatnya lagi kita memposisikan hubungan Islam dan Barat secara dikotomik, baik secara ideologi maupun politik. Keduanya harus dilihat dalam bingkai dialektika peradaban kemanusiaan.

Prinsip dialektika peradaban itulah yang akan menghapus pola konflik, disintegrasi dan destruksi yang selama ini terjadi. Dialektika peradaban yang dimaksud mengandaikan tidak adanya satu peradaban yang universal dan absah untuk dipaksakan pada semua kelompok. Peradaban manusia dipandang terus bergulir dalam proses menjadi, dan tidak diandaikan langsung sempurna. Karena itu baik umat Islam maupun orang Barat, semuanya berpeluang untuk duduk bersama sebagai mitra dialog antar budaya. Keberhasilan dialektika peradaban itu, kiranya sangat bergantung pada kedua belah pihak untuk berkomitmen dan mendukung tercapainya perdamaian global.

Tidak ada komentar: